Nonton Bareng Film “Sang Kiai”: Meneladani Perjuangan Ulama di Hari Santri Nasional 2024

GP Boalemo, 22 Oktober 2024 – Memperingati Hari Santri Nasional pada 22 Oktober 2024, Kuliah Kerja Dakwah (KKD UMGO), Karang Taruna Desa Bajo, dan GUSDURian Boalemo mengadakan acara nonton bareng film Sang Kiai. Acara ini memberikan sejumlah pelajaran berharga yang dapat diambil dari film tersebut.
Ketua Karang Taruna Desa Bajo, Iksan Mutalib, mengatakan, Film Sang Kiai menggambarkan betapa pentingnya nilai-nilai kesetiaan, kerendahan hati, dan ketaatan kepada para ulama yang sudah berjuang demi kemerdekaan dan bangsa. Kami berharap melalui acara ini, para pemuda dan masyarakat dapat semakin memahami perjuangan yang dilakukan para ulama serta meneladani sikap santri dalam mempertahankan persatuan dan nilai-nilai keagamaan.”
Koordinator KKD UMGO, Habibi whale , juga memberikan pandangannya. “Pesan yang disampaikan melalui film ini sangat relevan dengan perjuangan Gus Dur dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, kebhinekaan, dan keadilan. Kami berharap melalui acara ini, kita semua bisa lebih menghargai perbedaan dan meneladani keberanian para tokoh seperti Gus Dur dan Sang Kiai dalam memperjuangkan kebenaran, meski terkadang langkah mereka terlihat berbeda dari pandangan umum,” ujarnya.
Film ini memberikan dua pelajaran penting.
Pertama, terlihat jelas rasa tawadhu (rendah hati) dan kesetiaan santri kepada seorang ulama besar. Para santri dengan penuh kebanggaan mendampingi perjuangan Sang Kiai, hingga berhasil membebaskannya. Budaya pesantren yang kuat juga tergambar ketika Harun memutuskan untuk meninggalkan pesantren. Bagi Harun, langkah ini dianggap sebagai pembangkangan, meskipun Sang Kiai tetap legowo dan memahami pergolakan batin muridnya tersebut. Harun, meski masih memiliki rasa tawadhu kepada sang Kiai, merasa malu dan tidak berani kembali.
Kedua, film ini mengungkap budaya sami’na wa atho’na di pesantren, yakni ketaatan sepenuhnya terhadap perintah kiai, seringkali tanpa mempertanyakan secara logis. Ini terlihat ketika Harun memilih untuk berjuang dengan caranya sendiri, berbeda dari teman-temannya di pesantren. Secara logika, pilihan Harun mungkin masuk akal, namun dalam kacamata pesantren, keputusannya dianggap salah.
Para santri percaya bahwa Sang Kiai memiliki mata hati yang lebih tajam, mampu memprediksi jauh ke depan, serta bertindak bukan dengan emosi, melainkan strategi yang matang. Di akhir film, setelah perang usai, Harun menyadari bahwa pandangan Sang Kiai jauh lebih luas dan mendalam dibandingkan pandangannya sendiri.
Pemahaman ini mengingatkan pada prinsip yang dipegang oleh warga Nahdliyyin, terutama ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengambil keputusan-keputusan yang dianggap nyeleneh. Para pengikut Gus Dur percaya bahwa cara berpikir Gus Dur sudah jauh melampaui pemahaman umum. Seperti halnya Harun yang tersadar akan kebijaksanaan Sang Kiai, banyak yang percaya bahwa Gus Dur “sudah berlari,” sementara kita masih berjalan atau bahkan mendaki.